Picture from www.freepik.com
Bulan ramadhan 2 periode terakhir ini ada terbesit cerita yang membuatku banyak berpikir. Sebelumnya saya mengucapkan Marhaban Ya Ramadhan, Taqobbalallahu Minna Wa Minkum, Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1438H, Semoga Amal Ibadah Kita Diterima Allah SWT. Semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya, dilancarkan ibadahnya sebulan kedepan dan segala urusan dunia maupun akhirat. Aamiin.
Puasa 1437H kemarin saya lupa tanggal berapa tapi saya ingat sekali itu hari Minggu karena saya sedang pulang ke rumah. Saya pulang hari itu karena saya sedang ada banyak sekali agenda di Jogja yang membuat saya jenuh sehingga saya memutuskan untuk kembali ke rumah dan bertemu dengan keluarga walaupun Senin pagi saya harus kembali ke Jogja karena ada kuliah pagi. Sampai dirumah sekitar pukul 10.00 WIB saya ditelfon oleh ibu saya, beliau memberi kabar bahwa ponakan saya masuk rumah sakit karena didiagnosis sakit tifus. Beliau cerita bahwa si B masuk rumah sakit pada hari jumat dengan diagnosis tifus tetapi dari hasil cek darah trombositnya sudah turun sekitar 120 (saya lupa pastinya tapi masih dalam angka 100 up). Hari sabtu pihak keluarga sudah diberi tahu bahwa hari Minggu pasien sudah boleh pulang karena kondisi pasien sudah membaik. Hari Minggu pagi setelah hasil lab darah keluarga pihak keluarga diberi tahu bahwa si B terkena Demam Berdarah dan belum boleh pulang sehingga masih harus menginap di rumah sakit tersebut. Apa yang membuat ibu saya marah dan menyuruh saya untuk langsung datang ke rumah sakit adalah kenapa seperti itu pihak rumah sakitnya, padahal pasien memakai kamar VIP yang sebelumnya karena kehabisan kamar biasa dan setelah ada kamar kosong tidak bisa pindah ke kelas bawah bisanya pindah hanya untuk naik kelas lebih atas/VVIP (ini politik macam apa, jika memang ada regulasi seperti ini bagaimana dengan orang yang memang benar-benar membutuhkan pengobatan tetapi dana yang sangat minim dan memang harus secepatnya diatasi? Dibiarkan sajakah? Lalu kemana sisi manusiawinya? Hak asasi manusia mana yang diperjuangkan?).
Telfon mati, saya lalu buru-buru ke rumah sakit untuk mengetahui kondisi ponakan saya. Ketika saya sampai dirumah saya sudah dimasakkan oleh mbah saya karena saat itu saya sedang tidak berpuasa, saya pamitan untuk pergi ke rumah sakit dan berpesan bahwa nanti siang saya pulang tetapi akhirnya kena marah karena sampai malam saya tidak pulang. Sampai di rumah sakit saya langsung menemui keluarga pasien dengan tergesa-gesa dan panik (dalam hati saya, kok nyawa dibuat mainan). Setelah bertemu kamar dan pasiennya saya langsung menanyakan banyak hal mengenai kondisi dan perkembangannya selama dirawat. Saya kaget ketika mendengar diagnosis dan realitas yang terjadi, sempat ingin marah tapi saya coba menahannya. Ceritanya di B selama di rumah sakit memang susah makan jadi saya disitu berusaha membujuk dengan berbagai cara, mengajak ngobrol, dan membuat dia mau memakan apa saja yang ia mau (si B adalah ponakan yang sakit, umurnya sekitar 10 tahun). Saya masih berpikir bahwa mungkin kondisinya memburuk karena dia tidak mau memakan apapun termasuk cemilan kecil dll. Saya masih berusaha membujuk untuk meminum jus jambu yang nanti akan saya belikan jika dia mau, tapi berbagai bujukan dan rayuan tetap saja dia tidak mau tapi akhirnya aku membelikannya.
Monopoli tukang parkir. Selama ini ketika saya membujuk teman/kerabat/saudara ke rumah sakit tidak pernah lebih dari Rp 1.000,00 untuk membayar parkir bahkan ada yang gratis/tidak membayar sama sekali dan tetap dengan regulasi yang sama “kehilangan barang merupakan tanggungjawab pemilik barang”. Di rumah sakit “swasta” ini menerapkan biaya parkir sebesar Rp 2.000,00 dan tetap membayar jika ingin bolak-balik ke rumah sakit walaupun sudah ada pemberitahuan akan balik bahkan untuk penunggu pasien harus menggunakan karcis khusus dengan biaya Rp 5.000,00 untuk bolak-balik tanpa biaya lagi padahal tempat perkirnya bukan di dalam rumah sakit atau di basement (intinya kalau ada hujan ya basah). Saya sempat menanyakan, “Apakah ada aturan resminya pak? Jika ada mana?” Bapak parkir menjawab, “Ada mba, itu sudah diatur”. Bapak parkir menjawab dengan muka yang rada ketakutan dan tanpa memberikan bukti, karena saya sudah tergesa-gesa jadi saya tidak terlalu memperdulikan si tukang parkir. Maaf disini bukannya saya terlalu terpaku dengan aturan tertulis atau regulasi yang sah tetapi logikanya saja sistem parkir yang bisa dikatakan “memeras” penunggu pasien padahalnya dia juga harus membayar tanggungan rumah sakit (dengan catatan karcis khusus itu tidak boleh hilang padahal karcis itu cuma kertas biasa yang bisa basah dan sobek).
Kembali ke rumah sakit untuk memberi jus jambu kepada ponakan dan cuma diminum sedikit karena memang dia tidak mau makan ataupun minuman berasa. Siang itu dia mulai mimisan, banyak sekali sampai menetes-netes, ibunya sangat panik dan aku ikut panik karena setahu memang dia sedang dalam masa kritisnya DB dari cerita ibunya yang sebelum masuk rumah sakit panasnya sudah sekitar 3-4 harian. Kepanikanku yang langsung ke tempat perawat sampai nada tinggi sempat terlontar. Apa yang sebenarnya saya persoalkan? Apa yang membuat saya marah-marah bahkan perawat yang aku tidak tau mereka shift apa dan apakah mengikuti perkembangan ponakan saya? Nah, yang saya persoalkan adalah mengapa hasil lab yang sudah memunculkan angka trombosit kurang dari semestinya tidak ada diagnosis ke Demam Berdarah malah lebih ke Tifus? Diagnosis hanyalah dugaan awal dan memang tidak ada salahnya jika dugaan itu meleset, tapi jika tanda itu lebih mengarah ke diagnosis yang lebih benar kenapa tidak? Setahu saya gejala tifus memang sama dengan demam berdarah tetapi yang paling membedakan adalah jumlah trombositnya. Tidak hanya itu, saya sangat marah setelah perawat membacakan riwayat pemeriksaan hari Jumat hasil lab trombositnya 120, hari Sabtu tidak ada pengecekan darah dan hari Minggu hasil lab trombositnya sudah di angka 70 (saya lupa pastinya berapa tapi sekitar itu dan turunnya memang banyak). Saya marah, kenapa hari Sabtu tidak ada pengecekan darah bahkan hari Jumat pun trombosit sudah turun. Alasan perawat yang tidak masuk akal lagi adalah pengecekan darah hari Jumat itu digunakan untuk hari Sabtu. Benarkah begitu? Lalu saya ditanya apakah mba orang medis? dengan sinis saya bilang bukan dan bilang tolong itu ponakan saya sedang mimisan banyak, lalu perawat ke kamar pasien.
Saya masih marah dengan pelayanan yang menurut saya sangat keterlaluan dan sampai saya bilang ke pihak keluarga kalau untuk keluhan badan panas ataupun masih dalam batas masih belum terlalu parah ke puskesmas kecamatan saja soalnya pelayanannya sekarang sudah lebih bagus, saya bilang begini karena kemarin saya periksa di puskesmas dan memang pelayanannya lumayan untuk skala puskesmas. Ibu si B menjawab bahwa sudah terlalu panik karena anaknya panas-turun selama 3-4 hari lalu dibawa ke rumah sakit ini. Sedikit diskusi terkait pelayanan dan biaya yang dikeluarkan dan bla-blanya saya terlanjur marah besar disini, bertepatan dengan datang bulan yang menambah syahdunya bulan puasa 1437H.
Makan sore datang, ponakan tetap tidak mau makan. Bujuk rayuku segala kecerewetanku, semua negosiasi sudah dikeluarkan akhirnya dia mau makan dengan syarat dibelikan puzzle dengan gambar animasi (aku lupa gambar apa) dan akhirnya memakan hampir ¾ dari makanannya. Saya menyuapi ponakan saya dengan berbagai canda tawa dan berbagai tawaran makanan, buah dll. Btw, saya masih stay di rumah sakit karena saya ingin bertemu dengan dokter yang memeriksanya. Dokter yang katanya jam visitnya siang tapi sampe sore baru datang. Kekesalan saya memuncak ketika saya menanyakan bagaimana kondisi si B tanpa menatap muka, mata, bahkan menengok ke saya dokternya bilang pasien sudah baik. Whaattt…… aku diam, dokternya langsung keluar seperti terburu-buru. Perawat yang aku tanya kepastiannya hanya melemparkan ke dokter tapi dokter yang saya tanyai tak sedikitpun melihat muka saya. Akhirnya sore itu saya keluar mencarikan puzzle yang dia mau, puzzle yang sangat susah didapatkan sampai sedapatnya lah gambar itu tidak seperti apa yang dia mau tapi dia menerimanya. Saya keluar dari sebelum buka sampai sekitar jam 7 malam, balik ke rumah sakit ternyata ponakan sudah menanyakan saya. Saya bawakan beberapa buah untuk dihabiskan, lalu saya berpamitan untuk pulang tapi tidak boleh oleh si B jadi saya memutuskan untuk lebih lama disitu. Sekitar jam 8 saya berpamitan pulang dengan berbagai alasan serta berpamitan untuk balik ke Jogja besok pagi dan si B membolehkan.
Senin pagi saya ditelfon oleh pihak keluarga si B, mereka bilang bahwa hari ini si B sudah boleh pulang karena trombositnya sudah naik. Alhamdulillah. Keluarga mereka berterima kasih karena saya sudah ikut menunggu anaknya di rumah sakit.
Disini saya hanya sekedar sharing mengenai pengalaman “buruk” menurut saya dan mungkin ada cerita “sama” dalam bentuk lain boleh share juga. Saya sendiri sangat keberatan dengan pelayanan seperti itu yang seolah-olah jadi permainan atau politik atau apalah itu tapi jujur saya sangat tidak suka. Intinya kita disini sama-sama bersimbiosis dimana pihak keluarga mengeluarkan uang untuk membayar barang dan jasa sedangkan pihak rumah sakit sebagai penyedia barang dan jasa yang berupa pelayanan yang sangat kurang memuaskan. Mungkin ini cerita yang paling tidak aku lupakan selama ini karena sebelumnya saya pernah terkena demam berdarah tetapi saya langsung dilarikan ke rumah sakit “swasta” yang terkenal memang pelayanannya bagus tetapi agak jauh dari rumah karna di luar kota. Di rumah sakit itu pelayanannya sangat sigap dari dokter umum pertama yang memeriksa sampai benar-benar memastikan apakah itu benar demam berdarah atau sakit yang lain, diperiksa segala kemungkinan sakit yang dapat muncul dengan gejala-gejala yang ada baru pasien dinyatakan opname dengan penyakit atau diagnosis yang sudah ditetapkan. Perawat yang ada juga ramah-ramah dan baik menurut saya, dokternya murah senyum, dapat diajak diskusi dan banyak lagi yang intinya memuaskan lah pelayanannya. Dari situ kenapa saya tau mengenai demam berdarah dan bagaimana pengobatannya ya walaupun tidak tau detail obat yang digunakan. Sebelumnya saya memohon maaf jika ada pihak yang tersindir atau kurang nyaman dengan tulisan saya, tetapi ini murni dari pengalaman saya sendiri serta ketidakpuasan terhadap pelayanan rumah sakit terkait.
Ramadhan 1438H ini terjadi lagi dengan konteks yang sama yaitu tentang pelayanan di rumah sakit yang tidak sesuai harapan. Gejala dan keluhan yang menurutku lebih parah dari sebelumnya dan tindakan yang tidak ada lebih dari 24 jam setelah di opname. Next story in part 2 ^^